Pengharaman jika kaitannya pada zat dan syarat ibadah, maka akan merusak ibadah.
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manzhumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah,
وَإِنْ أَتَى التَّحْرِيْمُ فِي نَفْسِ العَمَلْ
أَوْ شَرْطِهِ فَذُوْ فَسَادٍ وَخَلَلْ
“Apabila ada dalil yang mengharamkan suatu perbuatan,
atau pada syaratnya, maka amal tersebut dengan sendirinya batal dan tercela.”
Maksud kaedah, jika datang bentuk ibadah dalam bentuk keharaman, lalu keharaman tersebut masuk pada ibadah itu sendiri, atau kembali pada syaratnya, maka amalan tersebut dihukumi batal.
Fasad artinya tidak mendapatkan dampak (maksudnya: tidak sah), baik dalam akad maupun ibadah. Contoh dalam fasad adalah jual beli itu tujuannya memindahkan kepemilikan antara pembeli dan penjual. Kalau disebut tidak sah berarti jual beli tersebut tidak bawa pengaruh akan berpindahnya harta tadi.
Dalil kaedah
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Syarat apa saja yang dibuat yang menyelisihi kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” (HR. Bukhari, no. 2168 dan Muslim, no. dan Muslim, no. 1504, juga Ibnu Majah, no. 2521, lafazhnya dari Ibnu Majah).
Penerapan kaedah
- Shalat pada waktu terlarang, atau shalatnya membelakangi kiblat, atau shalat dalam keadaan membawa najis, atau shalat dalam keadaan berhadats, atau shalat tidak berniat, atau shalatnya tidak memenuhi salah satu rukun shalat atau syaratnya, shalatnya batal.
- Puasa pada hari terlarang (seperti hari Idulfitri dan Iduladha, juga hari tasyrik), puasanya batal.
- Menikah dengan wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah berarti tidak sah.
- Zina tidak berpengaruh untuk nasab sebagaimana hubungan intim yang halal.
Di luar kaedah ini
Jika keharaman tidak kembali pada zat ibadah dan tidak kembali pada syarat, maka ibadah tersebut sah walaupun melakukan keharaman (dosa).
Contoh ibadahnya tetap sah:
- Wudhu di bejana yang haram (bejana emas dan perak).
- Wudhu di bejana hasil curian.
- Shalat dengan imamah atau pakaian yang mengandung sutra.
- Shalat dalam keadaan menggunakan cincin emas bagi pria.
- Ghibah saat puasa.
- Berhaji dengan harta haram.
Referensi:
- Risalah fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Pensyarh: Dr. Su’ud bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al-Ghorik. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
- Syarh Manzhumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah li Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.
- Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyyah fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kanuz Isybiliya.
Baca juga Kaedah Fikih (24): Terburu-Buru Sebelum Waktunya, Akhirnya Tidak Dapat atau baca tema ILMU USHUL.
Disusun di Darush Sholihin, 26 Rabiul Akhir 1441 H (24 Desember 2019)
Oleh yang selalu mengharapkan ampunan Allah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com